BUKAN CARA WARTAWAN, BUKAN CARA ISLAM

Sosok1144 Dilihat

Oleh: Supriyanto Martosuwito (Mantan Wartawan Poskota)

Darah ini serasa naik ke kepala dan mendidih, ketika mendengar pengacara penista bumi Kalimantan itu minta bantuan Dewan Pers dan berharap agar diperlakukan kliennya sebagai “wartawan senior”.

Tanpa rasa malu yang bersangkutan juga menunjukkan kartu anggota kewartawanan. Kartu PWI.

Penista bumi Kalimantan itu – yang tak perlu saya sebut namanya, karena tentulah Anda sudah tahu – jelas tidak sedang melakukan tugas kewartawanan saat menyebut Kalimantan sebagai “tempat jin buang anak” – “tempat gendurwo dan kuntilanak”.

Cara kerja wartawan tidak seperti itu. Ada kode etik dan rambu rambu yang harus dijaga. Juga profesionalitas.

Sedangkan yang dilakukan yang bersangkutan menuding sepihak, mencaci maki dan berteriak teriak, tak ada adab.

Sementara itu, teman sesama aktifisnya menyebut penangkapannya menunjukkan “pemerintah alergi terhadap aktifis Islam”.

Itu pun keliru besar! Sebab, tegas dalam Islam, tidak mengajarkan umatnya mencaci maki penguasa dan pemerintah yang sah. Ada adab!

Bahkan kepada Fir’aun yang jelas jelas dzalim – Allah meminta agar Nabi Musa datang langsung, menasehati dan berkata lemah lembut.

Jadi dia sedang melakukan apa? Sebagai apa? Tak jelas. Yang nampak dan terekam media, kata kata provokasi – agitasi – menghasut dan mengobar kebencian dengan kemarahan. Nada tinggi. Caci maki. Menista satu daerah. Sangat jelas bukan sedang melakukan tugas kerawartawanan dan tidak menggunakan cara cara Islami.

Hal yang patut disesalkan adalah PWI Pusat maupun Dewan Pers lamban memberikan tanggapan. Justru tanggapan tegas datang dari daerah yakni PWI Kalimantan Tengah dan PWI Depok, Bogor – bukan dari PWI Pusat dan Dewan Pers yang namanya disebut.

PWI Kalteng menyebut pengujar kebencian yang kini berstatus tersangka ini sebagai provokator, di mana perbuatannya berpotensi menimbulkan perpecahan.

” Terduga pelaku ujaran kebencian jangan membawa bawa profesi wartawan saat melakukan dugaan tindak pidana,” kata Wakil Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga PWI Kalteng Sadagori Henoch Binti dalam keterangan tertulis, Sabtu (29/1/2022).

“Dan permintaan pengacaranya, meminta polisi memberlakukan Undang-Undang Pers dalam memproses dugaan tindak pidana yang dilakukannya sangat menghina kecerdasan orang banyak, terutama kami yang berprofesi sebagai wartawan,” sambung Sadagori.

PWI Kalteng menegaskan wartawan adalah profesi mulia.

Di Jawa Barat, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Depok, Rusdy Nurdiansyah juga menegaskan pernyataan penghina bumi Kalimantan itu bukan produk pers.

Selain itu klaim pengacara penista bumi Kalimantan sebagai “wartawan senior” dianggap Rusdy telah menciderai profesi wartawan yang memiliki marwah dan ruh mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara serta sebagai pilar keempat demokrasi yang selalu mengedepankan kebebasan pers yang bertanggungjawab.

Seorang wartawan disebut senior jika menunjukan kinerja profesional, independen, memiliki integritas, aktif dalam komunitas dan organisasi kewartawanan terutama PWI serta memiliki jejaring yang luas. Selalu menjaga hubungan baik dengan nara sumber dan masyarakat serta diakui masyarakat pers, patut menjadi teladan dengan kinerja profesional dan prestasi yang dicapai.

“Jerat hukum yang menimpa Anda bukanlah produk pers dan karya jurnalistik. Memalukan, Anda mengaku-ngaku wartawan tapi tidak paham UU Pers, kode etik jurnalistik dan pedoman perilaku wartawan. Jangan rusak citra wartawan dengan perilaku Anda,” tegas Rusdy, Ketua PWI yang mengawali karir sebagai wartawan sejak 1991 dan pada 1993 bergabung di media Republika hingga saat ini. Rusdy sendiri akan mendapatkan Press Card Number One PWI pada Hari Pers Nasional (HPN) 2022 di Kendari, Sulawesi Tenggara, 9 Februari ini.

MENYIMAK kontroversi si penghina Bumi Kalimantan, saya teringat pada keramaian kampanye Pilpres 2019 lalu, saat mana ramai fenomena propaganda “semburan dusta” yang dalam kajian politik disebut “firehose of falsehood” dengan satu cirinya, mendapatkan perhatian media lewat pernyataan dan tindakan yang konyol serta mengundang kontroversi.

Ciri lainnya, melemparkan pernyataan-pernyataan yang bentuknya “partial truth” (sepotong kebenaran), “misleading claim” (klaim menyesatkan!), dan bahkan bohong. Tujuan dari pernyataan itu untuk menghilangkan kepercayaan pada data objektif dan merusak kredibilitas sumber data.

Setelah itu, pernyataan itu dikeluarkan secara berulang ulang dan terus menerus, berani dan lantang – sehingga menjangkau banyak orang.

Budiman Sudjatmiko, aktifis 1998 dan politisi cemerlng PDIP mengatakan, masyarakat Indonesia mampu mengalahkan “semburan dusta” atau “firehose of falsehood” sepanjang penyelenggaraan Pemilu 2019.

Tapi cara cara itu masih dianggap efektif dan dipakai lagi oleh penista bumi Kalimantan – sebagaimana juga dipakai gerombolannya dari partai yang mengotbitkannya sebagai kader dan caleg, serta kelompok yang sama – kelompok oposisi dan anti pemerintah kini – yaitu, semburan dusta!

Dia dan gerombolannya sengaja menyemburkan dusta, pernyataan separuh benar, di luar konteks, mencari cari perhatian dan mengulang ulanginya; mengikuti doktrin Paul Joseph Goebbels (1897 – 1945), saat Perang Dunia II: “kebohongan yang diulang ulang akan diyakini sebagai kebenaran”.

Ketua Propaganda Nazi, pendukung utama Adolf Hitler, termasyur dengan pernyataannya : “kebohongan yang diulang seribu kali akan menjadi kebenaran”. ***

Komentar